Kamis, 04 November 2010

Mengkaji Teologi Transformatif

Mengkaji Teologi Transformatif

Sampai saat ini Islam tampil dengan dua wajah. Pada satu sisi, Islam mengajarkan solidaritas, keadilan, pembebasan. Hadir dengan ramah, santun dan humanis. Pada sisi lain, Islam hadir dengan angkuh, intoleran, dan menjadi legitimasi terhadap penindasan dan eksploitasi baik yang dilakukan oleh negara ataupun oleh para agamawan. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan tidak pernah dipahami oleh pemeluknya. Seorang muslim ataupun agamawan lebih cenderung membahas dan mengkaji persoalan-persoalan ketuhanan dan masalah furu’iyah (cabang; periferal). Islam menjadi agama Tuhan, dan melupakan aspek universalitas (baca: kemanusiaan) dari Islam.
Disamping itu, ada penyebab eksternal yang mempengaruhi pemeluk agama, sehingga aspek esensial dari agama terabadikan. Diantaranya, belum adanya rumusan yang jelas antara agama dan negara (kekuasaan), sehingga agama seringkali dijadikan alat kekuasaan atau sebaliknya, yakni negara dijadikan alat misionaris oleh agama. Jika demikian, maka baik agama maupun negara akan kehilangan fungsinya. Agama tidak lagi menjadi media pembebasan dan negarapun hanya memunculkan ketidakadilan. Bahkan, jika keduanya bekerjasama (dalam arti negatif), maka ketidakadilan yang maha dashyat adalam imbalannya.
Maka pertanyaan yang sangat mendasar adalah benarkah agama lahir sebagai media pembebasan, membela hak-hak rakyat yang tertindas (al-mustadh’afiyn) ?. Ataukah agama lahir hanya sekedar pelarian manusia dari ketidaksanggupannya memahami dan merespon gejala alam yang berada diluar dugaan manusia ?. Tidakkah agama hanya menjadikan manusia sebagai budak-budak Tuhan yang menghilangkan jiwa solidaritas dan tanggungjawab sosial ? Dan, agama seperti apakah yang mampu mengakomodasi dan menjawab persoalan manusia?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, perlu kiranya menengok bagaimana sejarah awal Islam serta konsep-konsep dalam Islam mengenai hal tersebut. Islam lahir ditengah komunitas masyarakat Arab yang sangat eksploitatif, piramidal dan patologis. Islam lahir untuk mengubah sistem sosial tersebut menjadi masyarakat yang berdimensi keadilan, persamaan, saling menghargai, pembebasan. Secara doktrinal, Al-Qur’an menyebutkan bahwa keadilan adalah sendi utama dalam masyarakat (QS. 7:29, 5:8), membela hak-hak rakyat bawah (QS. 4:75). Dan, ternyata kehadiran Islam di muka bumi cukup efektif dan berhasil mengubah tatanan sosial Arab yang eksploitatif.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Islam sudah tidak seampuh zaman Muhammad. Sebab, Islam pasca-Muhammad sudah mengalami stagnansi dan masuk dalam persoalan politik (rezimentasi). Munculnya pelbagai aliran-aliran dalam Islam seperti Khawarij, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah dan sebagainya telah membawa Islam pada dunia yang sama sekali berbeda dengan masa rasul. Yakni suatu zaman dimana Islam mulai memasuki wilyah politik. Karena itulah, politisasi terhadap Islam seringakali terjadi. Islam menjadi legitimasi ketidakdilan, pembunuhan dan kekuasaan.
Tanpa mengecualikan dampak positif, perpecahan baik secara politis maupun teologis membawa ekses negatif yang sangat besar. Jargon ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan diantara umatku adalah rahmat) seringkali dijadikan legitimasi perbedaan tanpa pernah berfikir betapa banyak nyawa yang melayang dan harta hilang sebagai akibat dari munculnya perbedaan itu. Memang, perbedaan adalah sunnatulah dan seharusnya membawa rahmat. Namun dalam kenyataannya, perbedaan selalu memakan banyak korban. Hal ini karena tidak adanya kesadaran pluralisme dan relativisme diantara mereka. Yang ada hanyalah truth claim, finalitas, double standar dan kepentingan kelompok.
***
Karena itulah menghadirkan semangat Islam yang transformatif sebagaimana pada masa rasul menjadi niscaya. Hal ini bukan berarti hendak kembali kemasa nabi. Akan tetapi mengambil spirit dan semangat perjuangan nabi, sehingga Islam tidak kehilangan signifikansinya dan mampu membawa perubahan, liberatif, emansipatif dan transformatif. Islam yang pro status qou, mapan, konservatif harus segera dikesampingkan sembari menghadirkan Islam yang dicita-citakan kita semua termasuk oleh Muhammad. Sebuah Islam yang membawa perdamaian, keselamatan, petunjuk hidup, toleran dan kontekstual. Untuk mencapai cita-cita ini ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan.Pertama, pemahaman tentang Islam. Artinya, kita harus sepakat bahwa Islam yang kita pahami adalah Islam yang menyejarah. Aspek historitas Islam beserta varian didalamnya juga turut mengkonstruk Islam yang ada sekarang ini. Sehingga, Islam bisa ditafsirkan sesuai dengan semangat zamannya dan menemukan kontekstualitasnya. Tanpa memperhatikan konteks dan lokalitas tertentu, tentu Islam akan kehilangan “akar”nya ditengah-tengah masyarakat. Karena itulah, finalitas (kesempurnaan) Islam dengan berprinsip pada firman Tuhan bahwa Islam telah sempurna, final (QS.05; 03) perlu ditafsirkan ulang.
Kedua, perlu adanya kesepahaman bahwa Islam adalah salah satu fasilitas Tuhan untuk merubah tatanan dunia yang vandalistik, eksploitatif, jahiliyah. Ada banyak cara dan media bagi Tuhan untuk merubah dunia, misalnya melalui agama Kristen, Yahudi, atau kehadiran –misalnya–seorang Sidharta Gautama, Mahatma Ghandi, Karl Marx, bahkan Soekarno (QS. 35; 24).Dan, semua media Tuhan itu mengandung pesan yang sama, yakni keselamatan dan pembebasan. Sehingga kita tidak boleh menutup mata akan adanya kepelbagaian media yang digunakan oleh Tuhan. Kesemuanya itu pada dasarnya adalah sama (QS.05; 48, 2; 25). Jika demikian, semua firman Tuhan harus ditafsirkan dalam kerangka pembebasan dan transformatif. Tuhan menurunkan Islam bukan untuk melanggengkan status qou, penindasan dan kemiskinan. Ia hadir tidak lain demi kemaslahatan manusia.
Ketiga, mempertegas relasi Islam dengan kekuasaan. Dalam catatan sejarah, ketika agama “mesra” dengan kekuasaan seringkali tidak membawa dampak positif terhadap agama. Agama yang seharusnya menjadi medium protes sosial justru sebagai legitimasi bagi kepentingan penguasa. Sebab, “ayat-ayat” agama dipandang cukup efektif dalam membius kesadaran dan kritisisme masyarakat.Maka tidaklah mengherankan manakala K. Marx mengatakan agama sebagai opium of society, Nietzsche berteriak lantang tentang kematian Tuhan (Death of God) dan Karen Amstrong dengan rasa skiptis mempertanyakan adakah masa depan bagi Tuhan. Seorang teolog radikal, Thomas Altizer mengatakan bahwa kita harus menyadari bahwa kematian Allah merupakan kejadian historis, bahwa Allah telah wafat di dunia, dalam sejarah dan keberadaan kita.
Akhirnya, berkutat pada Islam klasik tanpa melakukan interpretasi terhadapnya adalah salah satu bentuk dari kejahatan, sebab mereduksi dan mendistorsi secara besar-besaran terhadap Islam itu sendiri@. Wallahu A’lam
http://gazali.wordpress.com/2007/11/28/artikel-20/

ISLAM & TEOLOGI TRANSFORMATIF
Pemikiran ke-Islaman di Indonesia semakin ramai dan hiruk-pikuk. Lihat saja, di sana-sini muncul sekian istilah yang seolah-olah menjadi icon bagi suatu mazhab atau bangunan konseptual pemikiran keislaman yang komprehensif. Di sini dapat dituliskan, mulai dari Islam TradisionaI, Modernis, Neomodernis, Fundamentalis, Alternatif, Rasional, Transformatif, Inklusif, eksklusif, Pluralis, hingga Islam Kiri, Liberal, Post-Puritan, post-modernis dan Post¬-Tradisionalis. Bagi yang tidak memahami aspek kesejarahan dialektika Islam di Indonesia niscaya akan kebingungan memetakan, apalagi, menangkap tesis-tesis penting setiap pemikiran di atas.
Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, bagaimana membaca fenomena di atas, atau apa arti penting dari fenomena di atas? Tulisan ini, sebagai selingan atas formulasi pemikiran Islam Progresif-Transformatif, akan mencoba membaca secara singkat dengan (atau justru tidak) sikap kritis terhadap berbagai diskursus keislaman di atas. Ukuran yang dipakai di sini, dengan meminjam istilah Ignas Kleden, adalah relevansi intelektual dan sosial. Artinya, setiap pemikiran akan diuji apakah memiliki relevansi intelektual dan relevansi sosial, atau tidak. Yang dimaksud dengan relevansi intelektual adalah sejauh mana sebuah gagasan memiliki koherensi internal (tidak ta'arudh) dan sejauh mana mampu mempertahankan asumsi-asumsi dasarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan relevansi sosial adalah sejauh mana sebuah gagasan mampu menjawab kebutuhan objektif problematik sosial yang dihadapi oleh masyarakat $Indonesia. Mengapa Indonesia? Sebab kita orang islam yang hidup di Indonesia, bukan di Amerika, Eropa, Arab, Afrika. Hal ini berarti bahwa segala pemikiran keislaman yang ada haruslah sesuai dengan konteks sosio-kultural bangsa Indonesia.
Islam Tradisional
Istilah ini biasanya dilekatkan pada bangunan pemikiran keislaman komunitas tradisional. Islam Tradisional ini sendiri sesungguhnya bukan label yang diciptakan sendiri oleh mereka, namun dilekatkan oleh aktor di luar diri mereka, entah peneliti, atau organisasi keagamaan lain. Secara sederhana kata tradisional mengacu ke suatu adat kebiasaan. Tradisi bermakna kebiasaan yang terus menerus direproduksi dan dilembagakan oleh masyarakat. Tradisional adalah kata sifat dari sesuatu, sehingga tradisional berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan tradisi kebiasaan tadi.
Dalam konteks pemikiran keislaman, Islam tradisional, jika itu mengacu ke oraganisasi islam semisal, NU-tempo dulu, mendefinisikan dirinya sebagai pemikiran keislaman yang dari sisi pemikiran kalam mengacu ke kalam Asy'ari dan Al-¬Maturidi, dari sisi hukum Islam membatasi diri pada madzahibul ar-ba'ah (empat mazhab: imam malik. Imam hanafi, imam syafi’I dan imam khambali), dan dari sisi tasawuf, mengacu ke Al-Ghozali dan AI-Junaidi. Kalangan Iuar mendefinisikan sebagai corak ke-Islaman yang bercampur baur dengan budaya masyarakat setempat seperti di Indonesia. Ciri khas pemikiran tradisional adalah menundukkan realitas di bawah teks dan manifestasi sosialnya nampak dalam berbagai kegiatan ritual keagamaan seperti ziarah kubur (dengan tujuan mendoakan, bukan untuk mencari berkah), khaul dan lainnya. Namun teks yang dimaksud lebih mengacu, meski tidak secara mutlak, ke kitab-kitab yang sering disebut dengan kutulrul mu'tabarah. Kitab ¬kitab Taqrib, Mu'in, l'anah, Wahhab, al-Mahalli, Mughnil Muhtaj, Bughyah, Asybah, Syarqowi, Jami'ul Jawami', Majmu', Jalalain, Ummul Barahin, Ihya', Hikam, untuk sekedar menyebut contoh, adalah referensi kuncinya. Akan tetapi untuk beberapa waktu belakangan ini, NU muncul dengan lebih menekankan aspek dialektika pemikiran islam progresif. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai tokoh muda NU yang selalu pro-aktif dalam merespon berbagai isu yang semisal tentang kesetaraan gender dalam islam, neo-liberalisme, kapitalisme pendidikan dan sebagainya.
Islam Modernis
Sama dengan istilah tradisional, Islam Modernis juga terkait erat dengan pengertian sosiologis dan epistemologis. Secara sosiologis, lahir dari kalangan masyarakat perkotaan, atau katakanlah kelas menengah ke atas. Secara historis, dapat dipandang sebagai antitesa terhadap praktek keberagamaan kaum tradisional yang dipandang menyimpang. Secara kelembagaan sering diasosiasikan dengan Muhammadiyah dan Persis. Istilah ini mengacu pada makna dasar kata modern itu sendiri. Yang sering diidentikkan dengan pembaharuan (modernisasi) alias rasionalisasi. Di Barat istilah Kiri dapat dilacak sejak renaissance yang mendeklarasikan kedaulatan manusia sebagai subjek yang otonom, menolak dominasi rezim kebenaran gereja, dan menumpukan akaI sebagai basis paling otoritatif. Modernisasi di Barat berjalan seiring dengan industrialisasi atau perkembangan kapitalisme.
Islam Neomodernis
Istilah ini dilekatkan pada pemikir Islam asal Pakistan, Fazlur Rahman. Kata neo di sini rnengacu ke seruan untuk menengok kembali ke warisan Islam klasik. Menurut aliran ini, pembaharuan pemikiran Islam harus berbasiskan pada warisan Islam klasik yang dipandang sangat kaya. Pembasisan ini akan memperkokoh bangunan pemikiran keislaman modern sebab berakar secara kukuh pada khazanah keislaman itu sendiri. Jika dilihat dalam optik Kuhnian, epistemologi yang dibangun merupakan epistemologi yang bukan diskontinuitas dengan epsiteme masa lalu. Di Indonesia aliran ini dibawa oleh pentolan Paramadina, Nurcholish Madjid. Intinya adalah apresiasi terhadap masa lalu bukanlah apresiasi terhadap kebudayaan atau tradisi, namun mengacu ke sejarah pemikiran Islam global (dunia) seperti Ibn Shina, Ibn Thufail, Ibn Rusyd, dan lainnya.
Islam Fundamentalis
Istilah ini memiliki kesamaan dengan istilah tradisional, dalam arti tidak diciptakan oleh komunitas rnereka, namun diciptakan oleh entitas di Iuar dirinya sendiri. Dalam sosiologi agama, istilah ini berasal dari sejarah pemikiran Kristen. Dalam kalangan Kristen istilah ini berarti penolakan terhadap penafsiran bibel yang tidak lafdhiyyah. Introduksi perangkat hermeneutik atau interpretasi non-tekstual ditolak sebab dipandang akan mengancam kemurnian ajaran. Di kemudian hari istilah ini mengglobal namun dengan pemaknaan negatif. Fundamentalisme diidentikkan dengan radikalisme, keras, galak, dan lainnya. Sementara fundalisme islam lebih menekakan aspek simbol-formal dalam beragama, sering disebut dengan gerakan Islam Simbolik.
Dalam dunia politik gerakan ini sering memakai nama agama untuk meopang kepentingan kelompoknya. Beberapa contoh kasus di Indonesia adalah gerakan untuk menjadikan syariat islam sebagai dasar Negara Indonesia dan beberapa kejadian pengeboman di Indonesia yang mengatasnamakan jihad fi sabilillah .Sehingga wajar jika ada indikasi bahwa gerakan ini adalah gerakan teroisme islam.
Islam Liberal
Istilah Liberal merupakan istilah yang sudah mapan dalam teori dan filsafat politik. Dalam literatur filsafat politik, liberalisme merupakan salah satu varian dari libertarianisme, yang merupakan teori politik sayap kanan. Liberalisme merupakan teori politik sayap kanan yang menerima kebebasan pasar, yang berbeda, misalnya, dengan sayap lainnya, anarkisme. Sargent mendefinisikan libertarianisme sebagai "an ideology that wants radically reduced role for government. Kaum libertarian, menurut Will Kymlicka, berjuang untuk mempertahankan kebebasan pasar, dan menuntut pembatasan penggunaan negara dalam kebijakan sosial. Mereka percaya bahwa kebebasan pasar merupakan instrumen yang mendorong tercapainya faidah maksimal dan yang mampu melindungi kebebasan-kebebasaan politik dan sipil. Pada tingkatan yang radikal, misalnya, mereka menolak mekanisme kebijakan pajak untuk mewujudkan keadilan distribusi.
Sedangkan liberalisme merupakan suatu pandangan filsafat yang mempercayai kernampuan rnanusia untuk rnenggunakan rasionya untuk menggerakkan reformasi sosial, cenderung menerima perubahan, bahkan tak dapat ditawar-tawar, walaupun dapat dikendalikan, dan memperjuangkan kebebasan berkehendak manusia.

Pemahaman akan konteks liberal di atas akan mempermudah dalam memahami makna Islam liberal. Secara sederhana hanya akan diuraikan dua islamologi yang sama-sama menggunakan istilah liberal, yaitu Leonard Binder dan Kurzman. Binderme-examine pararelisme antara liberalisme Barat dan liberalisme Islam. Dalam penelitiannya, dia menyimpulkan liberalisme memiliki akar-akar otentis dalam Islam, bahkan dalam diri tokoh yang dianggap fundamentalis seperti Sayyid Quthb. Dalam pemikiran politik (siyasy) liberalisme Islam ini merujuk pada pemikiran politik Al Abdurraziq, Tariq Al Bishri, yang berkesimpulan tentang tiadanya konsep negara dalam Islam.
Selain konsep itu, yang dijadikan unit analisis lainnya adalah tentang toleransi, dan rasionalisrne. Toleransi ini dikaitkan dengan toleransi beragarna, dalam arti kebebasan memeluk agama, suatu doktrin yang juga diakui kalangan fundamentalis. Toleransi ini membuka peluang untuk terbentuknya suatu komunitas politik yang lebih luas, terciptanya suatu eksistensi dalm kebersamaan. Hanya saja toleransi ini terbatas dalam agama itu sendiri, dan tidak dalam kaitan dengan politik. Filsafat liberal mengakui keberadaan pluralisme keagamaan, bahkan ateisme, namun tidak menjadikan salah satu nilai atau aliran agama sebagai basis nilai. Seluruh kebijakan publik ditentukan keabsahannya bukan oleh legitimasi teks, namun oleh rasionalitas kebijakan.
Sedangkan rasionalisme dalam liberalisme Islam dikaitkan dengan cara pandang terhadap teks. Kitab suci dianggap sebagai teks yang bebas ditafsirkan sesuai dengan rasionalitas manusia. Akal tidak secara hitam putih ditundukkan oleh teks. Namun teks secara dialektik memiliki relasi dengan entitas di luar dirinya. Ini dikontraskan dengan pandangan tradisionalis yang melihat teks secara harfiah-verbal, menganggap pemallaman agama sebagai suatu kebenaran mutlak, melihat agama bukan sebagai suatu tafsiran atau pendapat.
Ketiga wacana ini sebangun dengan liberalisme. Liberalisme dengan tegas memisahkan agama dengan politik dan membangun budaya toleransi dalam heterogenitas masyarakat. Agama dipandang sebagai urusan pribadi, dan selama tidak menganeam kebebasan-kebebasan politik masyarakat, negara tidak boleh mencampuri urusan tersebut.
Sedangkan Charles Kurzman meng-examine liberalisme Islam dengan tradisi Islam sendiri. Dengan konteks intelektual seperti ini, Kurzman memetakan tiga varian utama Islam Liberal. Pertama, Syariah Liberal, yakni suatu varian yang meyakini bahwa sikap liberal sebagai suatu wacana yang didukung secara eksplisit oleh syariah. Kedua, Islam Liberal dalam pengertian kaum muslim bebas mengadaptasi nilai-nilai liberal dalam hal¬hal yang oleh syariah diberikan kepada wewenang akal budi manusia. Ketiga, syariah yang bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran Islam yang beragam.
Dengan kerangka itu, ia mengkarakterisasikan Islam liberal dengan enam tesis dasar, yaitu: penentangan terhadap teokrasi (against theocracy ) yang diwakili oleh Ali Abd al-Raziq, Muhammad Khalafullah, Taleqani, dan AI-Asmawi); prodemokrasi (democracy) yang diwakili oleh Muhammad Natsir, SM Zafar, Mehdi Bazargan, Dimasangeay A. Pundato, Ghannouchi, dan Sadek Jawad Sulaiman); pro hak-hak perempuan (rights for women) yang diwakiIi oleh Nazera Zein-ed-Din, Benazir Bhutto, Fatima Memisi, Amina Wadud-Muhsin, dan M. Syahrur; pro hak-hak non-muslim (rights of non-Muslim) yang diwakili oleh Humayun Kabir, Chandra Muzaffar, Mohammed TaIbi, AIi Hulae, dan Rasmir Mahmuteehajic); kebebasan berpikir (freedom of thaught), yang diwakili oleh Syariati, Qaradhawi, Arkoun, Soroush, An-Nairn, Ajijola, dan Abdul Karim Soroush); dan gagasan tentang kemajuan (progress) yang diwakili oleh Iqbal, Mahmud Thaha, Nureholish madjid, Mamadiou Dia, Fazlur Raman, dan Shabbir Akhtar).

Untuk pemikiran islam yang lain ada di edisi berikutnya.
Teologi: "Sebuah Definisi Ilmu"
Rab, 07/11/2007 - 14:22 — Riwon Alfrey
Topic Artikel: Teologi dan Alkitab
Keywords Artikel: Definisi, Teologi
Komunitas Umum: Teologi
"...Theology is taught by God, teaches by God, and leads to God."
Seseorang pernah menceritakan pengalamannya kepada saya setelah ia mengikuti beberapa sesi ceramah teologi. Katanya: "…Tapi [ceramahnya-red.], memang bagus sih. Hanya pembicaranya suka memakai istilah-istilah yang sulit dimengerti oleh "encim-encim dan kawan-kawannya". He…he...he... Tetapi biarlah Roh Kudus yang bekerja. Tiada yang mustahil bagi Tuhan kan?!
Kemudian saya menjawabnya: "Teologia memang barang 'impor'. Sesuai dengan asal-usul penggunaaanya, seringkali istilah-istilah dan bahasa-bahasa yang digunakan memerlukan penjelasan yang panjang dan luas. Bahkan untuk menjelaskan satu istilah, bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun dan berjilid-jilid buku; baru dapat dipahami dengan baik? Belajar teologi tidak sama dengan belajar Alkitab. Pada dasarnya, untuk belajar teologi secara efektif, harus dimulai dari pengenalan dan pemahaman istilah-istilah teologia itu sendiri. Sebagai contoh, penggunaan istilah 'teologi'. Secara sederhana, mungkin orang akan menjawab 'ilmu tentang Allah' tetapi ketika penelitiannya mendalam dan luas, maka akan ditemukan istilah-istilah yang secara awam tidak lagi sederhana. Apalagi istilah teologi itu bukan berasal dari Alkitab, bahkan bukan istilah Kristen." Demikian, jawabku.
Sahabatku itu tertarik dengan penjelasanku. Katanya: "Terus untuk belajar mengenai 'teologi' itu mulai dari mana? Jawabku: "Mulailah dengan mempelajari definisi dan perkembangannya secara menyeluruh. Artinya, untuk belajar teologi, harus dimulai dengan mempelajari istilah 'teologi' dan perkembangan penggunaanya."
Demi menolong sahabatku itu untuk mengerti atua memahami ilmu teologia, maka saya memberikan penjelasan teologi secara definitif di bawah ini.
Definisi Teologi
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani adalah "theologia". Istilah yang berasal dari gabungan dua kata "theos, Allah" dan "logos, logika". Arti dasarnya adalah suatu catatan atau wacana tentang, para dewa atau Allah. Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya Homer dan Hesiod disebut "theologoi". Syair mereka yang menceritakan tentang para dewa yang dikategorikan oleh para penulis aliran Stoa (Stoic) ke dalam "teologi mistis". Aliran pemikiran Stois yang didirikan oleh Zeno (kira-kira 335-263 sM.) memiliki pandangan "teologi natural atau rasional", yang disebut oleh Aristoteles, dengan istilah "filsafat teologi", sebutan yang merujuk kepada filsafat teologi secara umum atau metafisika.
Sejarah Penggunaan Istilah Teologi
Walaupun Filo (20 sM.-50 M., seorang Yahudi Helenis dan pemimpin komunitas Yahudi di Aleksandria. Filo juga seorang pengarang yang produktif. Ia menafsiran Pentateukh secara alegori), menyebut Musa seorang "theologos", yakni seseorang yang berbicara tentang Allah atau seorang juru bicara Allah, tetapi tidak ada bentuk bahasa Yunani yang menunjukkan istilah ini di dalam Perjanjian Lama Saptuaginta (LXX) atau di dalam Perjanjian Baru (Kecuali sebutan "theologos" di dalam manuskrip Wahyu kepada Yohanes). Istilah teologi mulai digunakan oleh kaum Apologis (sebuah kelompok kecil para pengarang Yunani abad kedua yang mengadakan pembelaan bagi kekristenan pada masa penganiayaan, fitnahan, dan serangan intelektual). Teologi kadang-kadang "merujuk kepada sesuatu yang ilahi", "sebutan Allah", sebuah makna yang seringkali muncul dalam perdebatan tentang keilahian Kristus (Christology) dan Roh Kudus. Pada tahun 200 M., kedua istilah Yunani dan istilah Latin untuk teologi disesuaikan terjemahannya untuk dipakai dalam pengajaran, biasanya dalam pengajaran Kristen tentang Allah. Athanasius, memakai istilah teologia sebagai cara untuk memahami tentang keberadaan Allah, yang dibedakan dengan dunia dan sebagainya, seperti yang dilakukan Agustinus untuk mengajarkan tentang Allah. Sesekali, dalam tulisan-tulisan bapak-bapak gereja istilah teologi merujuk kepada pemahaman yang luas dari doktrin-doktrin gereja. Dalam komunitas-komunitas iman, tidak ada pemisahan antara pengajaran tentang Allah dan pengetahuan (misalnya, pengertian dan pengalaman) tentang Allah. Dalam hal ini, teologia dapat berarti "memuji Allah".
Perkembangan Penggunaan Istilah Teologi
Istilah "teologi" dipakai oleh para penulis Sholastik (istilah yang digunakan oleh kaum humanis dan pada abad ke-16 digunakan oleh para sejarahwan filsafat untuk menjelaskan pandangan para filosof dan teolog pada abad pertengahan) dan universitas-universitas Baru di Eropa, di mana teologi menjadi sebuah pelajaran yang sangat sistematis, sebuah ladang studi dan pengajaran, bahkan sebagai sebuah disiplin atau sebuah ilmu. Pemakaian istilah teologi tidak sepenuhnya baru -- ini telah dimulai sebelumnya oleh komunitas Yunani Kristen dan beberapa di dalam tulisan-tulisan bapak-bapak gereja, tetapi hal ini masih merupakan bayangan perkembangan teologi sebagai sebuah disiplin akademis yang tidak hanya menjadi bagian dari komunitas Kristen. Pada saat yang sama para pelajar di universitas-universitas memperluas perbedaan antara macam-macam teologia yang beragam, di samping pembedaan umum antara teologi dan filafat, seperti halnya perbedaan antara iman (faith) dan alasan (reason). Walaupun para Reformator secara umum tidak sabar dengan perbedaan yang dibuat oleh para pelajar di universitas-universitas, namun para pendahulunya, pada zaman Konfesional Ortodoksi atau Protestan Skholastisme telah mengadopsi atau mengembangkan sebuah kategori yang luas tentang macam-macam teologi.
Istilah Teologi di Era Modern
Di era modern, teologi sering di pakai dalam pengertian yang luas dan cakupan yang komprehensif, yang merangkum semua disiplin ilmu, baik di universitas-universitas maupun dalam pelayanan-pelayanan gerejani (contohnya, bahasa alkitab, sejarah gereja, homiletika, dll.). Teologi adalah sebuah disiplin akademik, contohnya, literatur atau fisika. Lebih tepat, istilah teologi merujuk kepada pengajaran tentang Allah dan hubungannya dengan dunia dari penciptaan sampai penyempurnaan (consummation). Pengajaran ini telah dirangkum dalam sebuah catatan rasional yang dibuat secara spesifik oleh seseorang atau lebih dari suatu kualifikasi yang luas, yang mengindikasikan gereja atau tradisi termasuk, Monastik, Katolik Roma, Reformed, Evangelikal, Ekumenikal. Bahan-bahan dasar teologi, seperti alamiah, alkitab, konfesi-konfesi, simbol-simbol (misalnya, didasarkan pada sebuah 'simbol' gereja, yang artinya di sini adalah kredo-kredo, dll.). Teologi mengandung doktrin, seperti, doktrin baptisan, doktrin Trinitas, dll. Pusat organisasi atau motif atau fokus teologi, misalnya, perjanjian (covenan), liberasi, inkarnasional, feminisme, teologi salib -- masing-masing merujuk kepada lebih dari satu pokok bahasan. Tujuan teologi untuk memberi keputusan bagi pendengarnya, misalnya dalam apologetika, polemik, dll.
Penggunaan Istilah Teologi Hari Ini
Disiplin utama studi teologi hari ini dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, di antaranya, teologi biblika, teologi historika, teologi sistematika, teologi filsafat, teologi pastoral dan teologi praktikal dan yang kurang dikenal secara luas, seperti teologi dogmatika (dogmatic theology), teologi liturgika dan teologi fundamental. Sebenarnya, lebih banyak lagi ragam teologi; setidaknya bersifat konfesional atau mencirikan suatu denominasi.
Jadi, Apa Arti Teologi?
Definisi yang sangat baik untuk teologi yang diekspresikan oleh Thomas Aquinas, adalah, "theology is taught by God, teaches by God, and leads to God." Tertarik belajar teologi?
----
Sumber: S.B. Ferguson, D.F. Wright, J.L. Packer (Eds.), NDT: "Theology" (Downer Groves, Illionis: InterVarsity Press, 1988), 680-681. Baca juga di http://www.pesta.org/node/683
Sola Gratia,
Riwon Alfrey
• Login or register to post comments
• 9096 kali dibaca
Komentar-Komentar
Anda membuat teologi tidak
Sen, 12/11/2007 - 00:15 — Anonymous
Anda membuat teologi tidak bicara tentang Allah, tetapi tentang istilah-istilah, seperti biologi dengan istilah-istilah latinnya.
Itulah sebabnya kenapa saya tidak suka orang-orang teologi.
Kalian (termasuk Anda) orang-orang yang suka memakai istilah untuk sesuatu yang sederhana. Makin banyak istilah yang anda tulis makin pusing saya membaca. Karena memang bagi kalian teologi itu hanyalah istilah-istilah membingungkan.
Usul, pakai bahasa yang sederhana. Tidak perlu mutar-mutar.
• Login or register to post comments
Teologi Koq Dibuat?
Sen, 12/11/2007 - 15:07 — Anonymous
Salam
Teologi tidak dibuat? Teologi itu dikembangkan dan diajarkan. Untuk belajar teologi memang tidak cukup hanya 3 bulan atau membeo kemudian menjadi teolog. Hanya menyebut nama Yesus saja, orang sudah berteologi. Mengapa, karena anda memerlukan penafsiran lagi tentang apa arti nama Yesus itu. Diperlukan waktu seumur hidup untuk berteologi. Yah, kalau berteologia untuk merusak kebenaran sih mudah aja. Selain itu, teologi memang bidang khusus yang sarat dengan istilah-istilah yang memang kadang-kadang aneh atau membingungkan. Makanya langka orang-orang yang menjadi ahli dan menulis risalah teologi. Oleh sebab itu, kamus teologi dibuat. Biar nggak "mutar-mutar", mulailah dengan memahami istilah-istilah teologia berdasarkan kamus-kamus teologi dan Alkitab yang tersedia.
Selamat belajar dan jangan alergi dengan istilah.
Demikian
• Login or register to post comments
surat terbuka
Sel, 13/11/2007 - 14:54 — Anonymous
dear penulis,
Kenapa Anda tidak menggunakan istilah yang mudah dimengerti oleh orang awam?
Saya memang tidak memiliki latar belakang teologi (dan juga pengunjung lainnya), oleh karena itu saya berharap bisa membaca artikel teologi yang mudah dimengerti. Tidak lucu jika saya membaca sebuah artikel dan membuka kamus teologi puluhan kali hanya untuk mencari arti sebuah istilah.
Apakah sebuah artikel teologi ditulis hanya untuk orang teologi juga? malang benar nasib saya.
salam penuh kasih
»»  read more

SEPINTAS TENTANG ORIENTALISME


SEPINTAS TENTANG ORIENTALISME
Kehadiran islam dimuka bumi ini membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Semua itu tidak lepas dari ajaran Al-qur'an dan sunah nabi Muhammad SAW yang sesuai dengan fitrah dan akal manusia. Disaat berbagai peradaban berkuasa atas dunia, kemunculan Al-qur'an ibarat rembulan diantara bintang-bintang yang kedap kedip. Cahayanya menenggelamkan semua cahaya yang ada. Seketika itu pula dunia seakan menjelma dari kegelapan menjadi terang benderang dengan pancaran sinar ilahi.

Kenyataan ini tidak bisa dielakkan oleh manusia manapun. Bahkan oleh orang-orang yang membenci islam sekalipun. Tutur kata yang tidak mau menerima islam tidak bisa disembunyikan dengan perilaku mereka yang cinta terhadap ajaran islam. Walau itu semua mereka lakukan dengan cara licik dan berbagai macam tipu muslihat.

Saat awal kedatangan islam yang dibawa oleh Muhammad.SAW, dalam sekejap dunia berubah. Ini merupakan pencapaian yang sangat fantastis dalam sejarah peradaban dunia. Kejahiliyahan dan ketidak adilan yang mengekang umat manusia selama ber-abad-abad bisa terobati dalam waktu yang super singkat. Semua itu disebabkan oleh ajaran islam yang sesuai dengan fitrah dan akal manusia. Karena Allah.SWT tau apa yang dibutuhkan oleh hambanya.

Sejak itulah lahir peradaban dan kebudayaan dari rahim islam yang belum pernah dicapai oleh bangsa dan umat manapun. Secara bertahap bermunculan berbagai disiplin ilmu dalam berbagai lini kehidupan. Hal ini membuat dunia terbelalak kagum sehingga orang-orang berbondong-bondong mempelajari islam. Tidak terkecuali orang-orang yang membenci islam sekalipun. Tidak heran kemudian muncul istilah orientalisme.

Definisi Orientalisme secara bahasa

Oriental dalam Bahasa Indonesia berarti mengenai dunia timur atau negara-negara timur. Sedangkan orientalis berartikan ahli bahasa, kesusastraan, dan kebudayaan bangsa-bangsa timur

Orientalisme dalam bahasa arab biasa disebut Al-Istisroq. Yang berarti mempelajari ilmu ketimuran dan bahasanya
Dalam kamus-kamus bahasa Eropa(Inggris,Jerman,Prancis) ada pemaknaan yang berbeda tentang maksud dari kata timur atau orient. Timur disini bukan berarti Negara-negara timur secara geografis. Tetapi kata timur disini dititik beratkan pada timur yang berhubungan dengan tempat terbitnya matahari, cahaya dan petunjuk terang(Morgenland). Ini kebalikan dari kata barat sebagai tempat terbenamnya matahari(Abenland). Hal ini disampaikan oleh Sayyid Muhammad syahid dalam definisinya tentang orientalisme dengan merujuk kamus-kamus bahasa Eropa.

Definisi Orientalisme secara Istilah

Ada beberapa definisi Orientalisme. Walau memiliki bermacam definisi, tetapi makna dan substansinya sama. Yaitu mengenai pembelajaran orang-orang barat terhadap dunia ketimuran.

Awal Muncul Orientalisme

Para ilmuan islam yang mendalami orientalisme berbeda pendapat dalam membatasi kapan awal munculnya orinetalisme. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang mereka dalam mendefinisikan orientalis itu sendiri. Apakah orang barat yang hanya berkunjung ke timur disebut orientalis?atau apakah orientalis adalah orang-orang barat yang menulis tentang dunia ketimuran?, atau orientalis adalah orang-orang barat yang belajar dan memperdalam ilmu ketimuran dengan tujuan apapun?. Dari inilah para ilmuan islam berbeda pendapat:

1.Orientalisme muncul pada akhir abad ke-7 Masehi. Pendapat ini bersandar pada adanya tulisan-tulisan keislaman oleh beberapa pemuka Kristen saat itu. Seperti halnya Yuhana Ad-Damasqy .

2.Dikatakan bahwa Orientalisme muncul pada abad ke-10 Masehi ketika para pelajar barat mulai mempelajari ilmu ketimuran yang saat itu dipimpin langsung oleh seorang pemuka gereja katolik berkebangsaan prancis. Ia telah mempelajari bahasa Arab di Qurtuba. Kemudian kembali ke negaranya guna menduduki posisi sebagai Baba .

3.Bahwa Orientalisme tumbuh pada abad ke-12 Masehi. Hal ini diperkuat oleh munculnya beberapa karya orientalis saat itu. Seperti adanya terjemahan pertama makna Al-Qur’an. Begitu juga adanya kamus pertama Latin-Arab.

4.Sebagian ilmuan dan pemikir Islam berpendapat bahwa Orientalisme adalah dampak dari perang salib yang merupakan fase akhir dari rentetan perang antara islam dan Kristen secara militer. Hal tersebut berangkat dari keyakinan para tentara Salib dari kaum Kristen bahwa Islam tidak akan pernah bisa dikalahkan dengan militer. Mereka kaum muslimin memiliki keyakinan hati yang sangat kuat. Mereka sangat gigih dan tidak akan pernah ciut dengan pedang dan senjata. Satu-satunya cara guna meruntuhkan dan mengalahkan islam adalah memisahkan mereka dari agama mereka yaitu dua pegangan abadi Al-Quran dan Sunnah. Dan inilah yang nantinya kemudian di kenal dengan istilah perang pemikiran(Gozwu Al-Fikr). Salah satu metode ampuh barat menghancuran islam. Sejak itulah pemuka-pemuka gereja gencar mempelajari Islam. pembelajaran mereka terhadap Islam tidak berangkat dari keimanan yang bisa memperkuat keyakinan mereka kepada ajaran Muhammad SAW. Tetapi sebaliknya guna mencari celah dalam islam yang memungkinkan melemparkan keragu-raguan dihati umat muslim.

5.Ada juga beberapa ilmuan islam yang berpendapat bahwa munculnya Orientalisme sejak abad ke-18. berawal dari ofensi Napolion seorang berkebangsaan prancis kepada mesir dan negeri-negeri timur lainnya pada tahun 1213 Hijriyah atau 1798 Masehi. Kendatipun ini adalah ofensi militer, tetapi saat itu Napolion juga ditemani sejumlah ilmuan dan pakar.

 
Beberapa Fase Perkembangan Orientalisme

 1.Islam melahirkan peradaban yang gemilang membuat bangsa Barat terbelalak.
 Fase ini dimulai sejak berdirinya Daulah Islamiyah di Andalusia(Spanyol). Yang selanjutnya memotivasi kebangkitan dan lahirnya peradaban islam yang sangat gemilang yang belum pernah diraih oleh Bangsa manapun sebelumnya. Sehingga membuat orang-orang Barat terbelalak kagum melihat pencapaian yang sangat fantastis ini. Keadaan itulah yang membuat bangsa Barat merasa harus segera mencari rahasia kebangkitan Islam. Apa yang memotivasi Islam?, Apa Rahasia dibalik kemajuan Islam? dimana letak sumber kekuatan islam sehingga bisa memenangkan perang salib? Menjadi pertanyaan besar dibenak mereka. Tidak heran jika saat itu kita melihat Barat berbondong-bondong mempelajari Islam. Mulai mempelajari ilmu-ilmu Islam dan bahasanya dengan harapan mereka bisa segera bangkit dari tidur nyenyak mereka yang berkepanjangan. Bahkan saat itu bisa kita saksikan para pemuka Kristen berbondong mendatangi Andalusia dan pusat-pusat peradaban Islam saat itu. Diantara Disiplin Ilmu yang banyak mereka pelajari adalah
 

Motivasi-Motivasi Orientalis
Ada beberapa faktor yang memotivasi para orientalis slalu gigih dalam melakukan misinya. Jika kita perhatikan hubungan antara orientalisme, kristenisasi, dan juga kaitannya dengan penjajahan di muka bumi maka akan kita temukan sebuah titik temu antara motivasi dan tujuan dari orientalisme. Ini semua tidak lepas dari rentetan skenario Gozw Al-Fikr(perang pemikiran) yang telah dicanangkan oleh arsitek-arsitek handal yang sinis pada islam. Khususnya setelah berkobarnya perang Salib. Simbol perang antara Islam dan Kristen. Melihat tentara Islam saat itu dengan kobaran semangat yang membara. Tidak ada yang terbesit dibenak tentara muslim saat itu selain Hidup dengan mulia dimuka bumi atau mati syahid sebagai panji islam. Kilatan pedang musuh yang terhunus tajam tidak menggetarkan hati mereka sedikitpun.

1.Motivasi agama
2.kolonialisme
3.kepentingan politik
4.Ekonomi
5.Ilmu pengetahuan

»»  read more